Bismillahirrohmanirrohiim
Apa yang paling dinanti seorang wanita yang baru saja menikah? Sudahpasti jawabannya adalah kehamilan. Seberapa jauh pun jalan yang harusditempuh, seberat apa pun langkah yang mesti diayun, seberapa lamapun waktu yang kan dijalani, tak kenal menyerah demi mendapatkan satukepastian dari seorang bidan; “positif”.
Apa yang paling dinanti seorang wanita yang baru saja menikah? Sudahpasti jawabannya adalah kehamilan. Seberapa jauh pun jalan yang harusditempuh, seberat apa pun langkah yang mesti diayun, seberapa lamapun waktu yang kan dijalani, tak kenal menyerah demi mendapatkan satukepastian dari seorang bidan; “positif”.
Meski berat, tak ada yang membuatnya mampu bertahan hidup kecualibenih dalam kandungannya. Menangis, tertawa, sedih dan bahagia takberbeda baginya, karena ia lebih mementingkan apa yang dirasa sikecil di perutnya. Seringkali ia bertanya; menangiskah ia? Tertawakah ia? Sedih atau bahagiakah ia di dalam sana? Bahkan ketika waktunya tiba, tak ada yang mampu menandingi cinta yang pernah diberikannya,ketika mati pun akan dipertaruhkannya asalkan generasi penerusnya itubisa terlahir ke dunia. Rasa sakit pun sirna sekejap mendengartangisan pertama si buah hati, tak peduli darah dan keringat yangterus bercucuran. Detik itu, sebuah episode cinta baru saja berputar.
Tak ada yang lebih membanggakan untuk diperbincangkan selain anak-anak. Tak satu pun tema yang paling menarik untuk didiskusikanbersama rekan sekerja, teman sejawat, kerabat maupun keluarga,kecuali anak-anak. Si kecil baru saja berucap “Ma…”, segera iamengangkat telepon untuk mengabarkan ke semua yang ada didaftartelepon. Saat baru pertama berdiri, ia pun berteriak histeris, antaraharu, bangga dan sedikit takut si kecil terjatuh dan luka.
Hari pertama sekolah adalah saat pertama kali matanya menyaksikan langkahawal kesuksesannya. Meskipun disaat yang sama, pikirannya terusmenerawang dan bibirnya tak lepas berdoa, berharap sang suami takterhenti rezekinya. Agar langkah kaki kecil itu pun tak terhenti ditengah jalan.“Demi anak”, “Untuk anak”, menjadi alasan utama ketika ia berada dipasar berbelanja keperluan si kecil. Saat ia berada di pesta seorangkerabat atau keluarga dan membungkus beberapa potong makanan dalamtissue. Ia selalu mengingat anaknya dalam setiap suapan nasinya,setiap gigitan kuenya, setiap kali hendak berbelanja baju untuknya.Tak jarang, ia urung membeli baju untuknya dan berganti mengambilbaju untuk anak. Padahal, baru kemarin sore ia membeli baju si kecil.Meski pun, terkadang ia harus berhutang. Lagi-lagi atas satu alasan,demi anak.Disaat pusing pikirannya mengatur keuangan yang serba terbatas,periksalah catatannya. Di kertas kecil itu tertulis: 1. Uang sekolahanak, 2. Beli susu anak …, nomor urut selanjutnya baru kebutuhan yanglain. Tapi jelas di situ, kebutuhan anak senantiasa menjadiprioritasnya. Bahkan, tak ada beras di rumah pun tak mengapa, asalkansusu si kecil tetap terbeli. Takkan dibiarkan si kecil menangis, apapun akan dilakukan agar senyum dan tawa riangnya tetap terdengar.Ia menjadi guru yang tak pernah digaji, menjadi pembantu yang takpernah dibayar, menjadi pelayan yang sering terlupa dihargai, danmenjadi babby sitter yang paling setia. Sesekali ia menjelma menjadiputeri salju yang bernyanyi merdu menunggu suntingan sang pangeran. Keesokannya ia rela menjadi kuda yang meringkik, berlari mengejar danmenghalau musuh agar tak mengganggu. Atau ketika ia dengan lihainya menjadi seekor kelinci yang melompat-lompat mengelilingi kebun, mencari wortel untuk makan sehari-hari. Hanya tawa dan jerit lucuyang ingin didengarnya dari kisah-kisah yang tak pernah absendidongengkannya.
Kantuk dan lelah tak lagi dihiraukan, walau harusmenyamarkan suara menguapnya dengan auman harimau. Atau berpura-purasi nenek sihir terjatuh dan mati sekadar untuk bisa memejamkan matabarang sedetik. Namun, si kecil belum juga terpejam dan memintanyamenceritakan dongeng ke sekian. Dalam kantuknya, ia terus punmendongeng.Tak ada yang dilakukannya di setiap pagi sebelum menyiapkan sarapananak-anak yang akan berangkat ke kampus. Tak satu pun yang palingditunggu kepulangannya selain suami dan anak-anak tercinta. Sertamerta kalimat, “sudah makan belum?”, tak lupa terlontar saat baru sajamemasuki rumah. Tak peduli meski si kecil yang dulu kerap ia timangdalam dekapannya itu sudah menjadi orang dewasa yang bisa membeli makan siangnya sendiri di kampus.
Hari ketika si anak yang telah dewasa itu mampu mengambil keputusanterpenting dalam hidupnya, untuk menentukan jalan hidup bersamapasangannya, siapa yang paling menangis? Siapa yang lebih dulumenitikkan air mata? Lihatlah sudut matanya, telah menjadi samuderaair mata dalam sekejap. Langkah beratnya ikhlas mengantar buahhatinya ke kursi pelaminan. ia menangis melihat anaknya tersenyumbahagia dibalut gaun pengantin. Di saat itu, ia pun sadar buah hatiyang bertahun-tahun menjadi kubangan curahan cintanya itu tak lagihanya miliknya. Ada satu hati lagi yang tertambat, yang dalamharapnya ia berlirih, “Masihkah kau anakku?”.
Saat senja tiba. Ketika keriput di tangan dan wajah mulai berbicaratentang usianya. Ia pun sadar, bahwa sebentar lagi masanya kanberakhir. Hanya satu pinta yang sering terucap dari bibirnya, “bilaIbu meninggal, Ibu ingin anak-anak Ibu yang memandikan. Ibu ingindimandikan sambil dipangku kalian”. Tak hanya itu, imam shalatjenazah pun ia meminta dari salah satu anaknya. “Agar tak percuma Ibumendidik kalian menjadi anak yang shalih sejak kecil,” ujarnya.Duh Ibu, semoga saya bisa menjawab pintamu itu kelak. Bagaimanamungkin saya tak ingin memenuhi pinta itu? Sejak saya kecil Ibu telahmengajarkan arti cinta sebenarnya. Ibulah madrasah cinta saya,sekolah yang hanya punya satu mata pelajaran: Cinta. Sekolah yanghanya punya satu guru: Pecinta. Sekolah yang semua murid-muridnyadiberi satu nama: Yang Dicinta.
(dari sebuah blog. "madrasah cinta" ini mampu mebius teman2 KKN sampai nangis seduu. 2tahun yg lalu)